Kolom Sastra Pendakian Terakhir By rightnewskendari Posted on May 30, 2019 1,272 Share on Facebook Share on Twitter Share on Google+ Share on Linkedin Penulis RIGHTNEWS.ID – Malam temaram tanpa bintang di awang-awang, Irfan dan Ina ada di taman tanpa sesiapa seolah taman yang indah itu diciptakan untuk mereka berdua saja. Sudah hampir satu jam lamanya sejak mereka menginjakan kaki di taman, namun belum ada sepatah kata pun keluar dari bibir masing-masing mereka. “Aku tetap akan pergi.” kata Irfan. Akhirnya Ina sontak menoleh, “Aku tetap tidak setuju.” Ina berkomentar. “Kamu ini kekasih aku, seharusnya kamu itu mendukung aku, mendukung apapun yang aku lakukan. Lagi pula, mendaki gunung bukan sesuatu yang negatif, kok.” kata Irfan dengan penuh penekanan. Mata Ina panas, seharunya dari sana telah membanjir air mata namun Ina berhasil membendungnya. “Kamu gak pernah paham tentang aku, Irfan. Kamu tidak pernah paham tentang rindu, bagaimana aku merindukan kamu ketika kamu berhari-hari ada di sana; dunia yang entah apa namanya. Aku selalu mengkhawatirkan kamu, takut sesuatunya yang buruk terjadi sama kamu. Dan…” “Ina, please… look at me. Aku di sini, bersama kamu-utuh.” tukas Irfan. Ina tidak mampu membendung air matanya lagi, wajahnya pun penuh akan kesedihan sementara air muka Irfan seketika berubah. “Oh, no. Kamu jangan nagis.” kata Irfan. Irfan berniat menyeka air mata Ina dengan jemarinya. Namun sebelum jari-jarinya sampai, tangan Ina terlebih dahulu menangkis tangan kekasihnya itu. “Cukup, Fan. Cukup sampai di sini saja. Aku sudah gak ngerti lagi sama kamu, aku gak ngerti sama kamu yang sekarang. Mulai saat ini, kamu boleh pergi. Pergilah kemanapun kamu mau. Persetan. Aku sudah tidak peduli lagi, bahkan jika kamu tak kembali sekalipun.” Ina berkata dengan hati tercabik-cabik namun jujur adanya. Ina segera bangkit, meraih tas yang diletakannya di bangku taman dan berlari dengan linangan air mata menjauhi Irfan sebelum Irfan sempat mencegahnya. Malam itu sebuah ikatan cinta terlerai hanya karena ego yang tak bisa dikendalikan. “Aku sudah mempertimbangkan semua ini, Ina. Apapun yang terjadi, aku akan tetap pergi. Ini adalah satu-satunya kesempatanku mendapatkan teman, sekalipun aku harus berubah menjadi orang lain untuk mendapatkannya.” gumam Irfan yang setelah kepergian Ina hanya berteman angin malam yang membekukan badan. ✳✳✳ Malam berikutnya, Irfan dan para rombongannya telah sampai di terminal Wonosobo setelah melewati perjalanan menggunakan bis selama berjam-jam lamamya. Di terminal itu hanya ada beberapa orang seperti supir dan para penjual makanan ringan. Maklum, hari telah mulai larut malam. Gunung yang akan mereka daki adalah sebuah gunung di kota Temanggung bernama Sindoro. Salah satu gunung yang indah di Jawa Tengah meski terkenal akan keangkerannya pula. Dengan menaiki ojek, mereka melaju menuju basecamp pendakian dan hanya memakan waktu sekitar lima belas menit saja karena jarak terminal Wonosobo dan basecamp cukup dekat. “Ok. Teman-teman, malam ini kita menginap di basecamp ini saja dulu, besok pagi baru kita melakukan pendakian.” kata Aksa, salah satu senior dalam perkumpulan pendaki itu. Semua orang lantas bersiap-siap untuk tidur, terkecuali Irfan yang sibuk mengutak atik flap ponselnya berharap ada sebuah panggilan tak terjawab atau sebuah pesan meski kenyataannya tak ada apa-apa selain pesan dari operator yang sibuk mempromosikan ini-itu. Ia kemudian teringat, Ina telah memutuskan ikatan percintaan jadi tak akan mungkin ia mendapatkan sebuah pesan penyemangat seperti pendakian sebelumnya ketika Ina masih menjadi kekasihnya. Ina terlonjak ketika sebuah tangan tetiba menepuk pundaknya, “Kamu sedang apa di sini, Na? Masuk, yuk! Dingin banget.” ajak Lisa, teman satu kosan Ina. “Kamu duluan aja, Sa.” sahut Ina datar. “Oh, ya udah…” kata Lisa sembari pergi meninggalkan Ina yang kembali hanyut dalam lamunan. Kamu lagi apa sekarang, Fan? Apa kamu baik-baik saja di sana? Tanya Ina dalam hati. Ina membuka flap ponselnya, mengetik pesan yang sama seperti apa yang baru saja ia katakan dalam hatinya. Setelah berhasil menulis, ia berhenti… tinggal satu langkah lagi untuk mengantarkan pesan itu kepada Irfan, namun Ina tak lagi memiliki kekuatan untuk menekan tombol pengantar itu. Hanya isak tangis dan air mata yang berbicara, malam itu ia benar-benar merindukan Irfan. Pagi harinya… Aksa, Irfan dan kawan-kawan memulai pendakian sekitar jam setengah tujuh pagi. Mereka telah memperhitungkan kemungkinan seperti dipastikannya senja merona ketika mereka sampai di atas sana nanti. Waktu berlalu dengan begitu cepat, setelah mereka melewati beberapa pos dan beristirahat di sana, mereka akhirnya hampir sampai di pos terakhir sebelum puncak. Sekalipun perjalanan yang panjang melupakan tujuan mereka memburu indahnya senja. Irfan merasa perutnya menyuarakan panggilan alam, sedari tadi ia terus memegangi perut mulasnya dan berjalan agak lambat dari orang-orang yang telah lebih dulu di depan. Beruntung sebab masih ada seorang teman bernama Oni yang ada di dekatnya. “On, gue mau berak nih. Temenin gue yuk!” ajak Irfan. Oni menyeringai, “Gile lu, mau berak kok ngajak-ngajak gue.” komentar Oni, ketus. Irfan melihat sebuah batu besar di depan sana, “Ya udah, kalau gitu lu suruh temen-teman berhenti di batu besar itu ya, tungguin gue.” kata Irfan. Oni hanya manggumam pertanda mengiyakan, sementara Irfan mulai mencari tempat yang pas untuk menandaskan panggilan alam dalam perutnya itu. Sebuah semak-semak akhirnya dipilih Irfan untuk proses eksekusi. Irfan bernafas lega meski ia merasa risih karena proses tadi, ia segera meraih tas besar yang tergeletak di dekat pohon tumbang dan berjalan menuju tempat perjanjian. Irfan terkesiap, di tempat perjanjian itu tidak ada siapa-siapa. “Ke mana semuanya?” tanya Irfan setengah melongo.”Oni, anak itu!!!” kata Irfan kesal. Tak ingin ketinggalan, Irfan terus berjalan namun perjalanannya selalu bermuara di titik yang sama; tempat perjanjian. Irfan mulai panik, sementara tenaganya telah habis terkuras. Di batu besar itu akhirnya ia rebahan dan tertidur lelap. Irfan terbangun ketika mendengar kegaduhan di sekitarnya. Ia pun terkejut bukan main, dalam sekali buaian mimpi tempat yang ia pijaki berubah menjadi sebuah perkumpulan orang-orang yang berjual beli. “Pasar,” gumam Irfan, “pasar setan.” tambahnya dalam hati. Irfan menelan ludah, jantungnya berdegub lebih kencang dari biasa dan nafasnya pun tak beraturan. “Apa yang harus aku lakukan?” tanya Irfan pada dirinya sendiri. Sejenak, Irfan mengingat ketika Aksa mengatakan info penting kepada dirinya dan semua bahwa jika sampai melihat pasar setan ini, maka siapapun harus membeli bila ingin terbebas dari sana. “Jadi aku harus membeli sesuatu dari sana?” tanya Irfan lagi. Irfan kembali menelan ludah yang kali ini seperti menelan makanan tanpa mengunyahnya terlebih dahulu, kesusahan. Irfan kemudian berjalan maju, mengumpulkan sisa keberaniannya dan menghampiri sebuah warung yang menjual makanan. Dari sekian banyak makanan, Irfan memilih mie goreng untuk dibelinya. Penjualnya ialah seorang bapak-bapak dengan wajah tanpa ekpresi dan tanpa sekalipun berkedip ketika Irfan mencuri-curi pandangan ke arahnya. Irfan mulai kembali panik ketika teringat bahwa ia menitipkan dompet di mana semua uangnya berlabuh pada Aksa, keringat dingin membasahi tubuhnya dan tubuhnya pun mulai gementar. “Pak, maaf. Uang saya dibawa sama teman saya, jadi saya gak jadi beli ya.” Irfan mencoba menjelaskan. Bapak-bapak itu justru membanting tangan di meja dan menatap Irfan lekat-lekat, “Mati, gue!” teriak Irfan karena terkejut. Semua orang di pasar itu menoleh ke arah Irfan, meninggalkan kesibukan dan meniadakan nama ‘pasar’ pada perkumpulan orang itu. “Maaf,” gumam Irfan. Entah dari mana pemikiran itu berasal, namun Irfan merencanakan pelariannya untuk meninggalkan pasar. Ia tahu betul itu bukan jalan keluar namun ia pun sudah tak punya pilihan. Secepat kilat Irfan balik badan dan belari melewati orang-orang yang menatapnya tajam itu, ia sampai tak sadar bahwa ia masih menenteng kantung plastik berisi mie goreng yang tadi hendak Irfan beli. Ketika Irfan berhenti berlari, ia sempat melihat pada kantung plastik yang dibawanya. Ia terkejut, mie goreng itu telah berubah menjadi cacing, Irfan segera membuangnya. Saat itulah orang-orang di pasar setan itu muncul dan membuat Irfan kembali berlari. Dalam pelarian, Irfan menyesali semuanya. Tentang keputusannya tetap nekat mendaki bahkan meminggalkan Ina. Ia mengingat Ina, seharusnya malam nanti mereka merayakan hari jadi yang ke dua tahun. “Ina, aku mencintaimu.” kata Irfan dalam hati. Meski Irfan terus berlari, namun ia yakin ia selalu melewati tempat yang sama. Dengan tetiba Irfan merasakan seluruh tubuhnya lemah, lalu ia jatuh terduduk di dekat sebuah pohon besar. Hanya matanya yang terus mengerjap-ngerjap, berharap di depannya seseorang lewat dan menolongnya. Shalimun turun disertai angin dingin setelahnya. Irfan ingin sekali bergerak untuk mengusir dingin yang membekukan badan, namun ia tak pernah bisa. Hipotermia menyerang Irfan dan ia telah sampai pada ajalnya. Seorang pendaki menemukan jasad Irfan di tempat yang sama, di sebuah sabana nan luas sebelum pos terakhir menuju puncak. Ina merasakan jantungnya berhenti berdetak, ia hanya diam mematung sembari memegangi dadanya. Dalam hati ia bertanya, “Ada apa ini?” tanyanya. Sesaat kemudian ponsel Ina berdering, ia segera membuka flap ponselnya dan mendapati sebuah nomor asing memberikannya sebuah pesan. “Ina… Ini Aksa, teman Irfan. Saya ingin memberitahukan bahwa Irfan meninggal dunia waktu pendakian kemarin.” begitulah kata yang tertulis pada pesan itu. Tungkai Ina mulai lemas, ia pun terjatuh setelah tak mampu lagi menahan berat badannya sendiri. Air matana membanjir melewati pipi dan serasa tak bisa lagi berhenti. Ia tak hanya ditinggalkan, namun juga kehilangan. Penulis : Aris Setiyanto Aris Setiyanto lahir dan tinggal di kota kecil namun indah bernama Temanggung di Jawa Tengah. Ia sangat menyukai tokoh Crayon Shinchan dan segala hal yang berbau Jepang. Novel pertamanya, Goodbye Tears. Novel keduanya, Impian Semu Wiro. Saat ini masih aktif menulis di blog arisnohara.wordpress.com