Kolom Sastra Ibu-ibu Berkelamin Ganda Molagina By rightnewskendari Posted on May 22, 2019 1,461 Share on Facebook Share on Twitter Share on Google+ Share on Linkedin Penulis BAUBAU, RIGHTNEWS.ID – Masiri punya musiknya tersendiri. Selain ombak dan angin pantai, nada-nada keluar dari tumbukan palu dan batu para ibu-ibu di sepanjang jalan. Mungkin juga, bunyi-bunyian itu adalah jerit kehidupan yang menguras seluruh energi mereka untuk bertahan hidup di Buton Selatan, Sulawesi Tenggara. Belum lagi, suara tangis bayi mereka yang terbagun oleh keriuhan lokasi pemecahan batu. Ibu-ibu pemecah batu datang secara mandiri dari tempat tinggal mereka di wilayah Molagina dengan berjalan kaki, memboyong serta anak-anak mereka yang masih kecil ke lokasi pemilik batu yang memekerjakan mereka. Ada yang membawa ayunan untuk menidurkan anaknya yang masih bayi, sambil ia bekerja memecah batu. Pemandangan seperti ini sudah menjadi biasa dalam kurung waktu tujuh tahun terakhir di Masiri. baca juga : Kumpulan Puisi Arwin Saputra Tahun 1999, sekitar 150 KK berpindah dari Ambon ke Molagina, menghuni perumahan pengungsi yang disediakan oleh pemerintah. Ibu-ibunya mencoba peruntungan dengan menjual kue. Para suami menangkap ikan dan melakukan pekerjaan serabutan lainnya. Sayangnya, setelah bertahun-tahun bermukim, keadaan ekonomi semakin memprihatinkan. Mengharapkan laki-laki sangatlah tidak bisa, daripada duduk di rumah, para ibu-ibu mulai mencari pekerjaan dengan menjadi pengumpul kerikil di kali HTI, yang oleh masyarakat sekitar, dikenal juga sebagai kali Cabang. Namun, karena mereka harus menggali kerikil secara manual dan menempuh jarak 7-8 kilo meter dengan menumpang mobil truk, banyak dari mereka memlih memecah kerikil di wilayah Kolowu yang hanya berjarak 4 kilo meter dari Molagina. Namun, tujuh bulan terakhir mereka mesyukuri keputusan pak Rusli, seorang pemilik batu di wilayah Kambe-kambero yang memekerjakan mereka dengan jarak tempuh 2 kilo meter (maka dalam sehari mereka menempuh jarak 4 kilo meter). Tentu saja, ibu-ibu pemecah batu menyesuaikan dengan jarak kampungnya, semakin dekat, maka akan semakin baik untuk bekerja. Satu truk batu besar bisa dipecah selama 2-3 hari secara borong oleh 20 ibu-ibu. Batu-batu besar dianggkut menggunakan gerobak kecil dan diletakkan di wale-wale (tenda buatan dari bahan kayu dan rumbia) tempat mereka bekerja. Lalu kerikil mulai dipecah menjadi bongkahan-bongkahan berukuran sedang. Kemudian, agar pecahan kerikil tidak melompat dan melukai mata mereka, karet ban luar bekas yang tebal menjadi alat bantu untuk memecah kerikil menjadi ukuran kecil yang siap dijual. Tentu saja, mereka jeda istirahat untuk makan dan minum saat siang hari, kemudian melanjutakan pekerjaannya hingga sore. Dalam sehari, satu orang pekerja bisa menghasilkan sekitar 5-10 ember kerikil. Para lelaki hanya datang membantu istri-istri mereka saat pengukuran dilakukan. Membantu menyekop kerikil ke dalam ember (ukuran 20 liter) dan mengangkut ke lokasi pengumpulan kerikil menggunakan gerobak kecil. Satu ember (ukuran 20 liter) diupah 2000rb rupiah. Mayoritas ibu-ibu pemecah batu dari Molagina ini masih memiliki suami. Namun apa yang bisa dilakukan jika kebutuhan hidup semakin bertambah, keperluan sekolah anak-anak mereka tidak bisa terpenuhi hanya dengan berpangku tangan, menunggu suami pulang memancing. Atau dengan kondisi suami yang sakit-sakitan, bekerja serabutan, bahkan ada yang pengangguran. Dengan apa mereka bisa membeli beras dan lauk untuk makan dalam sehari? Sampai di sini, benar yang diakatan Sosiawan Leak dalam puisinya yang berjudul Apakah Kartini (25 april 2004), “Untung kau lahir 127 tahun lalu sehingga tak mengalami, betapa susahnya menjadi wanita berkelamin ganda; ibu rumah tangga sekaligus pekerja!”. Memang tak banyak yang memekerjakan mereka. Apalagi, jumlah mereka tidaklah sedikit. Di wilayah Kambe-kambero saja, ada sekitar lima buah mesin pemecah batu. Produksi kerikil dengan tenaga mesin mendatangkan untung yang lebih besar daripada menggunakan tenaga manusia. Biaya yang dikeluarkan jika memecah batu menggunakan mesin adalah 150rb/truk sangat jauh dengan mengupah tenaga manual, yakni 180 ember/truk atau 360rb/truk. Jika uang yang dikeluarkan oleh pak Rusli untuk membeli batu mentah per truknya adalah 400rb rupiah, uang sewa lokasi kerikil siap jual 20rb, ditambah upah buruh 360rb maka jumlah modal pak Rusli adalah 780rb/ truk. Sementara itu, harga jual kerikil per truknya adalah 800rb. Maka keuntungan pak Rusli sangatlah sedikit yakni 20rb rupiah/truknya. Namun, jika tidak memecah kerikil, bagaimana para ibu-ibu ini memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka? Wajar saja, jika saat ini alasan kemanusiaanlah yang membuat pak Rusli bertahan memekerjaan para ibu-ibu dari Molagina ini. Pak Rusli pun tidak pernah mematok jumlah pekerjanya. Ibu-ibu pemecah kerikil bekerja seharian tanpa mengenal libur. Namun, ada saatnya mereka berhenti bekerja untuk sementara jika ada keperluan kampung semisal kedukaan dan pesta. Tapi jika tidak ada keperluan semacam itu, bunyi palu dan batu seperti detak jam kehidupan mereka. Bersahut-sahutan hingga malam datang menjemput. Memang benar, cinta ibu adalah cinta ilahi, penuh ketulusan. Penulis : Zulyah Zulyah adalah seorang pengangguran yang sudah dua tahun ini menyibukan diri dengan mengelola taman baca gratis di kampungnya, Baubau, Sulawesi Tenggara. Taman Baca Hayluz namanya. Lahir 21 Juli 1990, ia sedang menanti sang kekasih untuk melamarnya.