Kolom Sastra Bahasa Ibu Dalam Arena Kerusuhan Aksi 22 Mei By rightnewskendari Posted on May 24, 2019 1,021 Share on Facebook Share on Twitter Share on Google+ Share on Linkedin Penulis MAKASSAR, RIGHTNEWS.ID – Kita pernah berada pada alam sebelum ditangkap oleh bahasa. Berada pada dinding kokoh yang di selimuti kelembutan, kasih sayang dan peristiwa yang tak lebih kejam dari kenyataan dunia. Dunia tempat pertama kali manusia belajar memahami frekuensi sunyi yang diam. Tempat memahami segala bentuk pengetahuan pertama semesta ini. Di dalam rahim , di dalam dekapan itulah kita sedang belajar menghadapi dunia yang penuh dengan kefanaan. Di dinding yang kokoh itulah (rahim) kita sedang menjalin komunikasi yang non verbal sebagai sebuah awal pengetahuan sebelum beranjak ke dunia yang baru. Jackques lacan pemikir psikoanalisis menyebutnya sebagai keutuhan yang real dari “symbolik order” atau bahasa yang tak tercakup oleh unsur linguistik. Itulah mengapa bahasa ibu tergolong kedalam bahasa yang privat. Bahasa privat yang di maksud adalah bahasa yang sedang terjalin melalui sesuatu yang tak ditangkap oleh bahasa manusia pada umumnya. Kita sering menyebutnya bahasa batin atau bahasa kesunyian yang bergerak pada frekuensi yang nyaris tak bisa ditangkap oleh indra manusia. Sehingga, akibat dari komunikasi yang terjalin itulah yang membuat bahasa ibu mampu memberikan petanda terhadap peristiwa buruk yang sedang menimpa. Bahasa yang mampu menembus batas ruang dan waktu hingga ke masa yang akan datang. Bahasa ini cenderung melekat pada ingatan sehingga setiap seseorang menyentuh atau mengalami peristiwa yang pernah terjalin di masa lampau , maka spontanitas “mengingat” cenderung lebih kuat. Sebab bahasa ibu adalah pengetahuan pertama yang manusia terima sebagai anak yang masih dalam keadaan kosong. Suara pertama yang manusia dengar adalah suara dari sang ibu bahkan rasa yang paling pertama manusia rasakan adalah air susu ibu. Itulah sebabnya kita di tuntut untuk selalu mengingatnya. Bahasa ini akan kembali manusia rasakan jika berada pada perenungan yang diam. Berada pada keadaan berfikir stabil atau dalam pertapaan diri. Sehingga bisa di katakan bahwa bahasa ini adalah obat bagi jiwa yang sedang sakit atau memberontak. Sebab seburuk-buruknya fikiran dan perbuatan ,manusia pernah menempati dunia kebaikan yang suci. Dimana dari asalnya itulah manusia setidaknya membawa secuil bekal kebaikan saat sedang berkelana diatas muka bumi ini. Lantas bagaimana dengan manusia yang sedang berdiri di jalan melawan derasnya otorisasi politik? Mereka juga adalah sekumpulan manusia yang pernah menempati dunia yang penuh kebaikan itu (rahim). mereka telah melalui banyak peristiwa dunia yang rumit,sehingga fikiran yang sedang ia bawa telah terisi banyak fikiran itu sendiri. Itulah mengapa manusia mampu melakukan dua hal antara kebaikan dan keburukan sesuka hati sebab fikiran ibarat laci untuk menyimpan segala peristiwa yang di alami. Namun bukan menjadi sebuah alasan mereka yang terlibat kerusuhan sepenuhnya dipandang sebagai manusia yang telah kehilangan esensi bahasa ibunya. Justru bisa jadi, mereka sedang menyuarakan bahasa ibu itu sendiri, bahasa ibu yang polos dan sederhana yang mereka terima sedari kecil, bahasa kebaikan yang senantiasa mengajarkan tentang bagaimana kejujuran itu begitu penting, tentang bagaimana konsep keadilan itu harus di tegakkan. Dan tentang segala sesuatu yang harus di perjuangkan di jalan kebenaran. Bahasa ibu tak pernah salah menempatkan dirinya dalam fikiran, hanya saja kadang manusia salah menempatkanya pada perbuatan sehingga dalam kenyataanya ,pemberontakan kadang menjadi hal yang paling simple dari pada gagasan dan rasionalisme yang dianggap bertele-tele. Pemberontakan hari ini adalah bahasa ibu yang sedang tak terkendali oleh kedewasaan manusia yang senantiasa bergerak dan berfikir. Dinamis dan tergerus oleh banyaknya fikiran lain . Namun itulah manusia, mahkluk istimewa yang sedang mencari jejak demi jejak dirinya dalam kehidupan dan bahasa ibulah yang membuat kita kembali dan mengingat tuhan. Penulis : Achmad iedham alghazal Samata 23 Mei, 2019